Friday, January 9, 2009

Tangisan Rasullulah



Tiba-tiba di luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk. “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”

“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu ingin dikenang.

“Ketahuilah, ialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah.

Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa malaikat Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggil Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut roh kekasih ALLAH penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan kepadaku apa hakku nanti di hadapan ALLAH?” tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.

“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menunggu rohmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega. Matanya masih penuh kecemasan.

“Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”

“Jangan khuatir, wahai Rasul ALLAH. Aku pernah mendengar ALLAH berfirman kepadaku; “KUharamkan syurga bagi siapa sahaja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan roh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam. Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat penghantar wahyu itu.

“Siapakah sanggup melihat kekasih ALLAH direnggut ajal,” kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh kerana sakit yang tidak tertahan lagi. “Ya ALLAH, dahsyatnya maut ini, timpakan saja semua seksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum - peliharalah solat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatii” - “Umatku, umatku, umatku.”

Dan berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini mampukah kita mencintai seperti dirinya?

Allahumma sholi ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi. Betapa cinta Rasulullah kepada kita.

~ku taip sambil menitiskan air mata~

0 comments:

Beloved Followers

Popular Posts

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More